Social learning theory
Social learning theory
Albert
Banduraeru
Lahir
di Northern Alberta,4 desember 1925. Gelar sarjana psikologi dari universitas
of british colombia tahun 1949.
Meneruskan kuliahnya di university of lowa dan mendapatkan gelar doktor. Bukan hanya dibidang pendidikan tapi,pernah
menjabat sebagai president of american psychologist assosiation tahun 1973 dan
ia menerima penghargaan tertinggi atas konstribusinya pada tahun 1980.
Teori
social learning
Bandura
menekankan bahwa kondisi lingkungan dapat memberikan dan memelihara
respon-respon tertentu pada diri seseorang. Asumsi dasar dari teori ini yaitu sebagian besar tingkah laku
individu diperoleh dari hasil belajar melalui pengamatan atas tingkah laku yang
ditampilkan oleh individu-individu lain yang menjadi model.
Prilaku
melalui peniruan,bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement) sekalipun yang
diterima. Meniru beberapa prilaku melalui pengamatan terhadap prilaku model,dan
akibat yang ditimbulkannya atas model tersebut. Proses belajar semacam ini
disebut “observational learning” atau pembelajaran melalui pengamatan.
Reinforcement/punishment berfungsi sebagai sumber informasi mengenai tingkah
laku mereka.
Teori
belajar sosial ini menjelaskan bagaimana kepribadian seseorang berkembang
melalui proses pengamatan,dimana orang belajar melalui observasi atau
pengamatan terhadap prilaku orang lain terutama pemimpin atau orang yang
dianggap mempunyai nilai lebih dari orang lainnya. Istilah yang terkenal dalam
teori belajar sosial adalah modeling (peniruan).
Modeling dilakukan
melalui empat proses yaitu
Ø Perhatian
,dipengaruhi oleh asosiasi pengamat dengan orang yang diamati(model),sifat dari
model tersebut,dan arti penting tingkah laku yang diamati.
Ø Representasi,berarti
tingkah laku yang akan ditiru harus disimbolisasikan dalam ingatan
Ø Peniruan
tingkah laku,kemampuan untuk menirukan prilaku dari model yang diamati.
Ø Motivasi
dan penguatan
Vicarious
reinforcement,yaitu mengamati model mendapat reward untuk suatu tingkah
laku,memberikan informasi bahwa tingkah laku tersebut dikehendaki dan akan
mendorong pengamat untuk meniru.Punishment akan menimbulkan efek yang
sebaliknya.
Observer
attributes,yaitu kemampuan seseorang untuk mengikuti (memperhatikan) secara
selektif serta pengalaman masa lalu dari orang tersebut yang akan mempengaruhi
model mana yang mereka ikuti dan selektif apa mereka mengikuti model tersebut.
Kemampuan ini
dipengaruhi oleh beberapa hal,yaitu:
1.
Kapasitas perseptual yang matang
2.
Tingkat arousal (ketergugahan) yang
optimal mendorong perhatian terhadap aspek-aspek yang penting dari tingkah laku
model
3.
Perseptual set(apa yang diharapkan untuk
dilihat)
4.
Kemampuan kognitif untuk memahami
keadaan
5.
Preferensi (minat) mempengaruhi feature
yang diseleksi untuk diproses lebih lanjut
Kognisi adalah
sebagai tingkah laku perantara dimana persepsi diri kita mempengaruhi tingkah
aku kita. Di tekankan bahwa self afficacy sangat mempengaruhi tingkah laku
seseorang.
Self afficacy adalah
persepsi orang terhadap kopentensi mereka dalam menghadapi lingkungan. Segala
tingkah laku ,bisa tingkah laku akademis ,rekreasi,sosial dipengaruhi oleh self
afficacy.
Bandura
mengatakan bahwa kita harus fleksibel dalam mempertimbangkan interaksi antara
manusia (P),prilaku( B), dan lingkungan (E).adapun komponen kunci dari
self-sistem adalah self-efficacy,yaitu harapan bahwa seseorang bisa,dengan
usaha sendirinya,menguasai suatu situasi dan menyempurnakan hasil yang
diinginkan.belajar melalui observasi ini jauh lebih efisien dibanding belajar
melalui pengalaman langsung.
Terjadinya self
regulation
Bandura(dalam Hjelle
& Zielger,1981) menjelaskan bagaimana self regulation meningkatkan prilaku
terutama melalui fungsi motivasional.
Tiga komponen proses
yang terlibat dalam self regulation,yaitu
Ø Self
observation
Ø Judgemental
Ø Self
response.
Bandura
mengungkapkan bahwa spektrum perilaku manusia di regulasi melalui self
satisfaction,self price,self dissatifacion,dan self criticism.
Proses
modeling terdiri dari 4 proses penting yaitu :attention,retetion,production,dan
motivation. Karakteristik antara individu dan model semakin miripdenagn karakteristik individu
,maka perilaku tersebut akan mungki akan untuk di tiru. Sef system ,yaitu proses kognitif yang berfungsi untuk
mempersepsikan ,mengavaluasi dn mengatur perilaku.
Sumber : pusat
pengembangan bahan ajar-UMB,Adi Mandala,Mpsi,Psikologi perkembangan 1
Kognitif Theory
Menurut Bandura (dalam Woolfolk,
2009) teori sosial kognitif adalah sebuah teori yang memberikan pemahaman,
prediksi, dan perubahan perilaku manusia melalui interaksi antara manusia,
perilaku, dan lingkungan. Teori ini didasarkan atas proposisi bahwa baik proses
sosial maupun proses kognitif adalah sentral bagi pemahaman mengenai motivasi,
emosi, dan tindakan manusia. Albert Bandura (dalam Santrock, 2010) mengatakan
bahwa ketika murid belajar, mereka dapat merepresentasikan atau
mentransformasikan pengalaman mereka secara kognitif.
Teori sosial kognitif digunakan
untuk mengenal dan memprediksi perilaku individu dan group dan mengidentifikasi
metode-metode yang tepat untuk mengubah perilaku tersebut. Teori ini erat
kaitannya dengan pembelajaran seseorang menjadi pribadi yang lebih baik. Teori
ini menjelaskan bahwa dalam belajar, pengetahuan (knowledge), pengalaman
pribadi (personal experience), karakteristik individu (personal
characteristic) berinteraksi. Kemudian, pengalaman baru yang terbentuk
menjadi evaluasi terhadap perilaku lama. Pengalaman perilaku yang lama akan
menuntun pribadi tersebut menginvestigasi masalah-masalah yang muncul pada
pengalaman saat ini.
Bandura mengusulkan tiga macam pendekatan treatment,
yakni :
1. Latihan
Penguasaan (desensitisasi modeling): mengajari klien menguasai
tingkahlaku yang sebelumnya tidak bisa dilakukan (misalnya karena takut).
Tritmen konseling dimulai dengan membantu klien mencapai relaksasi yang
mendalam.
2. Modeling
terbuka (modeling partisipan): Klien melihat model nyata,
baisanya diikuti dengan klien berpartisipasi dalam kegiatan model, dibantu oleh
modelnya meniru tingkahlaku yang dikehendaki, sampai akhirnya mampu melakukan
sendiri tanpa bantuan.
3. Modeling
Simbolik; Klien melihat model dalam film, atau gambar/cerita. Kepuasan vikarious
(melihat model mendapat penguatan) mendorong klien untuk mencoba/meniru
tingkahlaku modelnya.
Teori sosial kognitif dari Bandura
telah menjelaskan bagaimana suatu proses belajar dengan cara meniru dan juga
terjadi interaksi timbal balik antara faktor lingkungan, personal dan sikap.
Ketiga faktor ini saling berinteraksi dan memiliki hubungan yang sangat erat.
Apabila terjadi suatu perubahan dari suatu faktor tersebut maka akan membuat
perubahan pada faktor yang lainnya juga.
Role
Theory ( Teori Peran)
Menurut Horton dan Hunt [1993], peran (role) adalah perilaku yang
diharapkan dari seseorang yang memiliki suatu status. Berbagai peran yang
tergabung dan terkait pada satu status ini oleh Merton [1968] dinamakan perangkat peran (role set). Dalam kerangka
besar, organisasi masyarakat, atau yang disebut sebagai struktur sosial,
ditentukan oleh hakekat (nature) dari peran-peran ini, hubungan antara
peran-peran tersebut, serta distribusi sumberdaya yang langka di antara
orang-orang yang memainkannya.
. Ada beberapa proses yang umum untuk memperkecil
ketegangan peran dan melindungi diri dari rasa bersalah, yaitu antara lain:
- Rasionalisasi
Rasionalisasi yakni suatu proses defensif untuk mendefinisikan kembali
suatu situasi yang menyakitkan dengan istilah-istilah yang secara sosial dan
pribadi dapat diterima.
- Pengkotakan (Compartmentalization)
Pengkotakan (Compartmentalization)
yakni memperkecil ketegangan peran dengan memagari peran seseorang dalam
kotak-kotak kehidupan yang terpisah, sehingga seseorang hanya menanggapi
seperangkat tuntutan peran pada satu waktu tertentu.
- Ajudikasi (Adjudication)
Ajusikasi yakni prosedur yang resmi
untuk mengalihkan penyelesaian konflik peran yang sulit kepada pihak ketiga,
sehingga seseorang merasa bebas dari tanggung jawab dan dosa.
- Kedirian (Self)
Kadang-kadang orang membuat
pemisahan secara sadar antara peranan dan “kedirian” (self), sehingga konflik
antara peran dan kedirian dapat muncul sebagai satu bentuk dari konflik peran.
Conflict Theory ( Teori konflik)
Karl Marx
Karl Marx, pelopor utama gagasan
"sosialisme ilmiah" dilahirkan tahun 1818 di kota Trier, Jerman,
Ayahnya ahli hukum dan di umur tujuh belas tahun Karl masuk Universitas
Bonn,juga belajar hukum. Belakangan dia pindah ke Universitas Berlin dan
kemudian dapat gelar Doktor dalam ilmu filsafat dari Universitas Jena.
Teori konflik muncul sebagai
reaksi atas teori fungsionalisme struktural yang kurang memperhatikan fenomena
konflik di dalam masyarakat. Asumsi dasar teori ini ialah bahwa semua elemen
atau unsur kehidupan masyarakat harus berfungsi atau fungsional sehingga
masyarakat secara keseluruhan bias menjalankan fungsinya dengan baik. Namun
demikian, teori ini mempunyai akar dalam karya Karl Marx di dalam teori
sosiologi klasik dan dikembangkan oleh beberapa pemikir sosial yang berasal
dari masa-masa kemudian.
Teori konflik
Teori konflik adalah teori yang
memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian
nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang
menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula.Teori ini
didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan
kelas dalam masyarakat.
Konflik berasal dari
kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis,
konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa
juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik, dalam kamus besar
Bahasa Indonesia (2002) diartikan sebagai percekcokan, perselisihan, dan
pertentangan.
Asumsi Dasar
Teori
konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional. Pemikiran
yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah
pemikiran Karl Marx. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik
mulai merebak. Teori konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural
fungsional.
Pada saat itu Marx mengajukan
konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak
mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam
masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas
pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua
kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan
eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan
terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam
diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya
tetap terjaga. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis
mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan
tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis
terhadap mereka.
Dipandang dari akibat maupun
cara penyelesaiannya, Furman & McQuaid (dalam Farida, 1996) membedakan konflik
dalam dua tipe yang berbeda, yaitu konflik destruktif dan konstruktif.
1) Konflik
dipandang destruktif dan disfungsional bagi individu yang terlibat apabila:
Konflik terjadi dalam frekuensi yang tinggi dan menyita sebagian besar kesempatan individu untuk berinteraksi. Ini menandakan bahwa problem tidak diselesaikan secara kuat. Sebaliknya, konflik yang konstruktif terjadi dalam frekuensi yang wajar dan masih memungkinkan individu-individunya berinteraksi secara harmonis.
Konflik terjadi dalam frekuensi yang tinggi dan menyita sebagian besar kesempatan individu untuk berinteraksi. Ini menandakan bahwa problem tidak diselesaikan secara kuat. Sebaliknya, konflik yang konstruktif terjadi dalam frekuensi yang wajar dan masih memungkinkan individu-individunya berinteraksi secara harmonis.
2) Konflik diekspresikan dalam bentuk agresi
seperti ancaman atau paksaan dan terjadi pembesaran konflik baik pembesaran
masalah yang menjadi isu konflik maupun peningkatan jumlah individu yang
terlibat. Dalam konflik yang konstruktif isu akan tetap terfokus dan
dirundingkan melalui proses pemecahan masalah yang saling menguntungkan.
3) Konflik
berakhir dengan terputusnya interaksi antara pihak-pihak yang terlibat. Dalam
konflik yang konstruktif, kelangsungan hubungan antara pihak-pihak yang
terlibat akan tetap terjaga.
Sedangkan Handoko (1984) membagi
konflik menjadi 5 jenis yaitu:
(1) konflik dari dalam individu,
(2) konflik antar individu dalam
organisasi yang sama,
(3) konflik antar individu dalam
kelompok,
(4) konflik antara kelompok
dalam organisasi,
(5) konflik antar organisasi.
Konflik di Indonesia
Konflik kontruksi
Contoh : Perusahaan fast food
terbesar yaitu bersaing dalam hal menarik customers antara kentucky fried
chicken dengan texas chicken dalam hal bentuk ,penyajian ,dan menu yang di
tawarkan
Konflik destruktif
Contoh : Pertentangan yang
terjadi antara kaum buruh dengan pihak perusahaan tekstil di youg jin yang
menuntut kenaikan gaji atau di keluarkannya THR (tunjangan hari raya). Masalah
pendapatan atau gaji sangat berhubungan denagn hajat kehidupan maka tidak
jarang dalam mengajukan tuntutannya tersebut,para buruh melakukan tindak
kekerasan dengan merusak fasilitas pabrik.
Seringkali tindakan kekerasan muncul secara
spontan pada masyarakat. Tindakan kekerasan spontan ini tidak jelas ,kadang
kala di tumpangi oleh kepentingan pihak-pihak tertentu yang sengaja ingin
menciptakan kekacauan.
POLA PENYELESAIAN KONFLIK
Hodge dan
Anthony (1991), memberikan gambaran melalui berbagai metode resolusi
(penyelesaian) konflik, sebagai berikut:
1) metode
penggunaan paksaan. Orang sering menggunakan kekuasaan dan kewenangan agar
konflik dapat diredam atau dipadamkan.
2) metode
penghalusan (smoothing). Pihak-pihak yang berkonflik hendaknya saling memahami
konflik dengan bahasa kasihsayang, untuk memecahkan dan memulihkan hubungan
yang mengarah pada perdamaian.
3) penyelesaian dengan cara demokratis. Artinya,
memberikan peluang kepada masing-masing pihak untuk mengemukakan pendapat dan
memberikan keyakinan akan kebenaran pendapatnya sehingga dapat diterima oleh
kedua belah pihak.
Cribbin (1985) mengelaborasi terhadap tiga
hal, yaitu mulai yang cara yang paling tidak efektif, yang efektif dan yang
paling efektif. Menurutnya, strategi yang dipandang paling tidak efektif,
misalnya ditempuh cara:
1) dengan
paksaan. Strategi ini umumnya tidak disukai oleh kebanyakan orang. Dengan
paksaan, mungkin konflik bisa diselesaikan dengan cepat, namun bisa menimbulkan
reaksi kemarahan atau reaksi negatif lainnya.
2) dengan
penundaan. Cara ini bisa berakibat penyelesaian konflik sampai berlarut-larut.
3) dengan
bujukan. Bisa berakibat psikologis, orang akan kebal dengan bujukan sehingga
perselisihan akan semakin tajam.
4) dengan
koalisi, yaitu suatu bentuk persekutuan untuk mengendalikan konflik. Akan
tetapi strategi ini bisa memaksa orang untuk memihak, yang pada gilirannya bisa
menambah kadar konflik konflik sebuah ‘perang’.
5) dengan
tawar-menawar distribusi. Strategi ini sering tidak menyelesaikan masalah
karena masing-masing pihak saling melepaskan beberapa hal penting yang mejadi
haknya, dan jika terjadi konflik mereka merasa menjadi korban konflik.
Komentar
Posting Komentar